Pictures

Hukum Mendengarkan Musik dan Merokok dalam Islam

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam


Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu 'anhuma)

Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.



Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.

Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!

Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :

Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.

Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.

Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.

Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.

Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.

Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.

Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)

Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif

Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).
Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”

Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)

Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.

Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.

Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)

Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.

Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)

Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’

Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :

Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.

Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)

Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :

Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.

Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.

Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.

Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.

Dan yang lain, misalnya :

Jika Rabbku berkata padaku.

Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.

Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.

Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.

Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.

Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)

Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)

Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.

Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)

Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan

Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)

Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an

1. Firman Allah Ta’ala :

“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.

Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :

“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)

Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).

Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :

“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)

Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”

Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.

Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.

Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)

2. Firman Allah ta’ala :

“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)

Mujahid --dalam kitab yang sama-- menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.

3. Firman Allah ta’ala :

“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)

Kata ‘Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)

Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

1. Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)

2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)

3. Dari Anas bin Malik berkata :

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)

4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)

5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan-- khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)

6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)

7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :

“Kulihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)

Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”

Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”

Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.

Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)

Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”

(Bersambung ke Nyanyian Dan Musik Dalam Islam II)

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli "Nyanyian dan musik dalam Islam".)


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=25
Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (II)
Penulis: Al Ustadz Idral Harits
Fiqh, 18 Juni 2003, 05:47:40
Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?”

Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.

Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)

Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)

Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)

Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)

Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”

Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)

Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”

Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :

[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah ta’ala berfirman :

“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115) ]

Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”

Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.

Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini.”

Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.

Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman 301)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :

“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik).

Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia --dengannya-- dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)

Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)

Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, --padahal at taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu--, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!

Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman 305)

Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)

Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)

Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh, mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”

Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.”

Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.

Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”

Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.

Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”

Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.

Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322)

Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.

Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya nifak.

Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.

Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :

“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)

Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan sangat jelek. Inilah hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.

Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)

Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah ta’ala.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.



[1] Orang yang jika mengajarkan sesuatu mudah diterima dan dipahami.

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli "Nyanyian dan musik dalam Islam".)


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=27
Siapa Bilang Rokok Haram ?
Penulis: Redaksi Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 110 Tahun II
Aqidah, 04 Desember 2009, 04:49:52
Rokok adalah barang sial yang banyak menjangkiti kebanyakan kaum muslimin, apalagi orang-orang kafir. Barang ini betul-betul mencekoki otak para pecandunya. Ketika dinasihati bahwa rokok itu haram! Mereka akan menyatakan, "Siapa bilang rokok haram!!"

Menjawab pernyataan ini, kami tegaskan bahwa rokok telah diharamkan oleh para ulama besar kita berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.Keharaman ini umum mencakup laki-laki, maupun wanita, orang besar atau anak kecil!!! Haramnya rokok telah diketahui secara aksiomatik oleh semua orang sampai semua dokter, perusahaan rokok, pemerintah, bahkan semua orang yang berakal sehat ikut mengharamkannya. Adapun para pecandu rokok yang ditunggangi dan dibutakan oleh hawa nafsunya, maka mereka ini tak perlu ditoleh ucapannya dalam menghalalkan rokok. Tapi tolehlah fatwa-fatwa dan pernyataan ulama dan orang-orang yang berakal sehat.

Buletin Mungil At-Tauhid kali ini akan menyodorkan beberapa fatwa ilmiah kepada pembaca budiman agar menjadi ibroh (pelajaran); fatwa ini berisi pernyataan haramnya rokok. Para ulama yang kami akan nukilkan fatwanya adalah para ulama terpercaya, tidak terseret hawa nafsu, dan tidak segan menyatakan kebenaran, walaupun banyak yang tersinggung.

Pembaca yang budiman, para ulama kita di Timur Tengah telah lama menyatakan haramnya rokok, jauh sebelum para dokter "mengharamkannya".

Sebagian penanya pernah melayangkan pertanyaan kepada ulama besar kita di Timur Tengah yang tergabung dalam "Al-Lajnah Ad-Da’imah" (Lembaga Fatwa).

* Soal Pertama: Hukum Shoalat di Belakang Perokok

Suatu fenomena yang sering kita jumpai di lapangan, adanya sebagian imam yang biasa memimpin kaum muslimin dalam mendirikan sholat. Padahal ia adalah seorang yang tercandu rokok. Hal ini pernah ditanyakan oleh sebagian kaum muslimin kepada para ulama tentang sikap kita.

Seorang penanya berkata, "Bolehkah sholat di belakang seorang imam yang suka merokok. Perlu diketahui bahwa imam ini bukan imam tetap, bahkan ia hanya memimpin sholat jama’ah, karena Cuma ia yang pintar membaca Al-Qur’an di antara jama’ah yang ada di sekitar masjid?"

Para ulama tersebut menjawab, "Merokok adalah haram, karena telah terbukti bahwa membahayakan kesehatan, dan termasuk sesuatu yang khobits (buruk lagi menjijikkan), serta bentuk pemborosan. Allah sungguh telah menyifati Nabi-Nya –Shollallahu alaihi wa sallam-,

"…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…". (QS. Al-A’raaf: 157)

Adapun hukum sholat di belakang; jika karena seorang tidak sholat di belakangnya lalu menimbulkan luputnya sholat jumat atau sholat jama’ah atau muncul masalah (antara jama’ah), maka wajib sholat di belakangnya, demi mendahulukan mudhorot yang lebih ringan atas mudhorot yang lebih besar. Jika ada sebagian orang yang tidak sholat di belakangnya , sedang ia tidak khawatir luputnya sholat jumat atau jama’ah atau tidak muncul mudhorot (masalah dan perseteruan), tapi mengakibatkan tercegah dan berhentinya ia merokok, maka wajib untuk tidak sholat di belakangnya sebagai kecaman baginya dan dorongan baginya dalam meninggalkan sesuatu yang diharamkan baginya (yakni, merokok). Demikian itu termasuk bagi mengingkari kemungkaran. Jika kita meninggalkan sholat di belakang, tidak menimbulkan mudhorot, tidak luput dari sholat jumat dan jama’ah, serta tidak bergeming dengan hal itu, maka sikap paling utama, memilih sholat di belakang orang yang tidak serupa dengannya dalam hal kefasikan dan maksiat. Demikian itu lebih sempurna bagi sholatnya, dan lebih menjaga agamanya. Wabillahit taufiq, wa shollallahu ala Nabiyyina wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (9/408-409)]

* Soal Kedua: Hukum Penjual Rokok

Sebagian kaum muslimin yang memiliki profesi dagang, biasa menjual rokok, karena banyaknya keuntungan yang bisa diraup dari hasil penjualan, apalagi jika ada diskon dari perusahaan rokok.

Sekarang ada baiknya kita mendengarkan seorang penanya berkata, "Apa hukum Islam tentang orang menjual rokok yang dijual karena adanya keringanan (diskon) dari arah perusahaan rokok?"

Para ulama’ Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Merokok adalah haram; menanam tembakau adalah haram; berdagang rokok adalah haram, karena pada rokok terdapat bahaya besar. Sungguh telah diriwayatkan dalam sebuah hadits,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain". [HR. Ibnu Majah (2341)]

Rokok juga termasuk khoba’its (sesuatu yang busuk, jelek lagi menjijikkan). Sunnguh Allah -Ta’ala- telah berfirman tentang sifat Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam-,

"…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…". (QS. Al-A’raaf: 157)

Allah –Subhanahu- berfirman,

"Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik". Al-Ayat (QS. Al-Maa’idah: 4) [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/85-86)]

* Soal Ketiga: Hukum Menjual Rokok karena Perintah Orang Tua

Terkadang ada sebagian orang telah mengenal haramnya merokok dan menjual rokok. Namun ia bingung ketika ia diperintahkan oleh orang tuanya untuk menjual barang haram itu. Dia bingung, apakah ia mentaati Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ataukah ia mentaati orang tuanya?!

Seorang penanya pernah bertanya tentang menjual rokok karena adanya perintah dari orang tua. Apakah hal itu adalah udzur baginya?

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Merokok adalah haram, jual-beli rokok adalah haram, walaupun hal itu terjadi atas perintah dari orang tua atau selainnya, karena adanya hadits dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Sama sekali tak ada ketaatan kepada seorang makhluk dalam bermaksiat kepada Yang Maha Pencipta -Azza wa Jalla-". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1041)]

Beliau juga bersabda,

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

"Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf". (HR. Al-Bukhoriy & Muslim) [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/113)]

* Soal Keempat: Hukum Menanam Tembakau

Diantara sebab utama banyaknya produksi, karena adanya ta’awun (kerja sama) antara pedagang dengan petani tembakau. Para petani itu terkadang merasa bahwa ia tidak terkena dosa jika ia menanam tembakau. Sebab ia beralasan bahwa bukan mereka yang membuat rokok, tapi para pemilik perusahaan rokok.

Benarkah para petani tidak terkena dosa; dalam artian bahwa pekerjaannya tidak haram??! Kini ada baiknya kita simak seorang penanya pernah berkata, "Bagaimana hukum Islam tentang tentang menanam tembakau dan harta yang dikumpulkan oleh para petani tembakau dari hasil penjualan tembakau tersebut?"

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Tidak boleh menanam tembakau, menjual, dan menggunakannya, karena rokok haram dari beberapa sisi; karena beberapa madhorot (bahaya)nya yang besar dari sisi kesehatan, karena keburukannya, tidak ada faedahnya. Wajib bagi seorang muslim untuk meninggalkannya, menjauhinya, tidak menanamnya dan tidak pula memperdagangkannya, karena jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan harganya, Wallahu A’lam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/120)]

* Soal Kelima: Wajib Bertaubat dari Rokok

Ada diantara kita yang menyangka bahwa merokok bukan dosa sehingga ia menyangka bahwa dirinya tak perlu bertaubat dari perbuatannya tersebut. Tapi demikiankah halnya. Biar anda tahu tingkat kekeliruan sangkaan batil itu, dengar Seorang penanya berkata, "Bagaimana hukum syari’at tentang penjual rokok dengan berbagai macam jenisnya? Saya adalah seorang perokok; saat aku mendengarkan tukang adzan, maka aku masuk masjid. Apakah wajib bagiku mengulangi wudhu’ ataukah berkumur-kumur cukup bagiku? Aku sebenarnya tahu bahwa rokok menyebabkan berbagai macam penyakit".

Para ulama besar dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul bin Baaz memberikan jawaban, "Haram menjual rokok, karena keburukannya, dan bahayanya yang banyak. Sedang si perokok dianggap fasiq. Tidak wajib mengulangi wudhu’ karena merokok. Tapi disyari’atkan baginya menghilangkan bau yang tak sedap dari mulutnya dengan sesuatu yang bisa menghilangkannya; di samping ia wajib segera bertaubat kepada Allah dari rokok. Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/114)]

Inilah beberapa buah petikan fatwa ilmiah dari para ulama besar kita di zaman ini. Mereka menjelaskan haramnya merokok, menjual rokok, menanam tembakau, dan segala hal yang mendukung perbuatan maksiat ini, yakni merokok. Sedang Allah -Ta’ala- melarang kita bekerjasama dan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan dalam firman-Nya,

"Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah". (QS. Al-Maa’idah: 2)

Faedah : Sebagian orang terkadang berceloteh bahwa rokok tidak haram sebab tidak ada kata "rokok" dan larangannya dalam Al-Qur’an sehingga mereka menyangka bahwa merokok tidak diharamkan. Padahal sebenarnya banyak dalil-dalil dalam Al-’Qur’an yang mengandung kaedah-kaedah yang memastikan haramnya rokok. Tapi kedangkalan ilmu orang-orang yang berusaha menghalalkan rokok, menyebabkan mereka tidak dapat menemukan dalil-dalil tersebut. Hal ini mengingatkan kami dengan sebuah kisah dari Masruq bin Al-Ajda’ saat ia berkata, " Ada seorang wanita yang pernah datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata, "Aku telah dikabari bahwa Anda melarang wanita dari menyambung rambut (memakai rambut palsu)? Ibnu Mas’ud menjawab, "Benar". Wanita itu bertanya, "Apakah hal itu Anda dapatkan dalam Kitabullah ataukah Anda pernah mendengarnya dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Ibnu Mas’ud berkata, "Aku telah mendapatkannya dalam Kitabullah dan dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Wanita itu berkata, "Demi Allah, sungguh aku telah membolak-balik diantara dua lembar (cover) mushaf, tapi aku tak menemukan di dalamnya sesuatu yang anda nyatakan". Ibnu Mas’ud berkata, "Apakah engkau menemukan (s ebuah ayat) di dalam mushaf (yang berbunyi):

"Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah,. dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah". (QS. Al-Hasyr: 7)

Wanita itu menjawab, "Ya". [HR. Ahmad (3749). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Marom (93)]

Memakai rambut palsu tak ada dalil yang mengandung lafazh larangannya dalam Kitabullah, tapi dalil-dalil yang melarang hal tersebut secara tersirat terdapat dalam Kitabullah, sebab menyambung rambut alias menggunakan rambut palsu termasuk bentuk penipuan dan kedustaan. Sedang larangan berdusta dan menipu banyak di dalam Al-Qur’an. Demikian pula rokok, memang tak ada kata dan lafazh "rokok" dalam Al-Qur’an. Tapi larangan tersebut sebenarnya ada secara tersirat, sebab rokok termasuk perbuatan tabdzir (menghambur harta), membahayakan diri, mengganggu orang lain, menzholimi diri dan orang lain, suatu sebab besar orang mengidap penyakit, bahkan penyebab kematian!! Bukankah di dalam Al-Qur’an terdapat larangan tabdzir, membahayakan diri, mengganggu orang lain, menzholimi diri dan orang lain, membunuh diri sendiri?! Jawabnya, "Jelas ada!!". Jadi, nyatalah keharaman rokok berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 110 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Sumber http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/siapa-bilang-rokok-haram.html)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1567
Hukum Merokok dalam Islam
Penulis: Fatwa al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al If
Fatwa-Fatwa, 11 Januari 2004, 07:54:08
SIKAP ISLAM TERHADAP ROKOK

Sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk-Nya dan agama yang hak, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dan membersihkan serta mensucikan hati mereka dari kotoran kekufuran dan kefasikan dan membebaskan mereka dari belenggu penghambaan kepada selain Allah ta’ala.

Dia (Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam) membersihkan manusia dari kesyirikan dan kehinaan kepada selain Allah dan memerintahkannya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dengan merendahkan diri dan mencintai-Nya dan meminta serta memohon kepada-Nya dengan penuh harap dan takut.

Dia juga mensucikan manusia dari setiap kebusukan maksiat dan perbuatan dosa, maka dia melarang manusia atas setiap perbuatan keji dan buruk yang dapat merusak hati seorang hamba dan mematikan cahayanya dan agar menghiasinya dengan akhlak mulia dan budi perkerti luhur serta pergaulan yang baik untuk membentuk pribadi muslim yang sempurna. Maka dari itu dia menghalalkan setiap sesuatu yang baik dan mengharamkan setiap yang keji, baik makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lainnya.

Termasuk yang diharamkan karena dapat menghilangkan kesucian adalah merokok, karena berbahaya bagi fisik dan mengdatangkan bau yang tidak sedap, sedangkan Islam adalah (agama) yang baik, tidak memerintahkan kecuali yang baik. Seyogyanya bagi seorang muslim untuk menjadi orang yang baik, karena sesuatu yang baik hanya layak untuk orang yang baik, dan Allah ta’ala adalah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik.

Berikut akan kami kemukakan beberapa fatwa dari para ulama terkemuka tentang hukum rokok : “Merokok hukumnya haram, begitu juga memperdagangkannya. Karena didalamnya terdapat sesuatu yang membahayakan, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ أخرجه الإمام أحمد في المسند ومالك في الموطأ وابن ماجة
“ Tidak (boleh melakukan/menggunakan sesuatu yang) berbahaya atau membahayakan” (Riwayat Ahmad dalam Musnadnya, Malik dan Atturmuzi)

Demikian juga (rokok diharamkan) karena termasuk sesuatu yang buruk (khabaits), sedangkan Allah ta’ala (ketika menerangkan sifat nabi-Nya Shalallahu 'alaihi wassalam) berfirman: “...dia menghalalkan bagi mereka yang baik dan mengharamkan yang buruk“ (Al A’raf : 157)

Panitia Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia.
Ketua: Abdul Aziz bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzak Afifi.
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan –
Abdullah bin Quud.

“Merokok diharamkan, begitu juga halnya dengan Syisyah, dalilnya adalah firman Allah ta’ala: “Jangan kalian bunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap diri kalian “ (An-Nisa : 29)
“ Jangan kalian lemparkan diri kalian dalam kehancuran” (Al-Baqarah : 195)

Dunia kedokteran telah membuktikan bahwa mengkonsumsi barang ini dapat membahayakan, jika membahayakan maka hukumnya haram. Dalil lainnya adalah firman Allah ta’ala:
(وَلاَ تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ الَّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا ( النساء : 5

“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan..” (An Nisa:5)
Kita dilarang menyerahkan harta kita kepada mereka yang tidak sempurna akalnya karena pemborosan yang mereka lakukan. Tidak diragukan lagi bahwa mengeluarkan harta untuk membeli rokok atau syisyah merupakan pemborosan dan merusak bagi dirinya, maka berdasarkan ayat ini hal tersebut dilarang.

Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam juga menunjukkan pelarangan terhadap pengeluaran harta yang sia-sia, dan mengeluarkan harta untuk hal ini (rokok dan syisyah) termasuk menyia-nyiakan harta. Rasulullah e bersabda:
{ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ }

Syekh Muhammad bin Sholeh bin ‘Utsaimin
Anggota Lembaga Majlis Ulama Kerajaan Saudi Arabia


“Telah dikeluarkan sebuah fatwa dengan nomor: 1407, tanggal 9/11/1396H, dari Panitia Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa di Riyadh, sebagai berikut: “Tidak dihalalkan memperdagangkan rokok dan segala sesuatu yang diharamkam karena dia termasuk sesuatu yang buruk dan mendatangkan bahaya pada tubuh, rohani dan harta.

Jika seseorang hendak mengeluarkan hartanya untuk pergi haji atau menginfakkannya pada jalan kebaikan, maka dia harus berusaha membersihkan hartanya untuk dia keluarkan untuk beribadah haji atau diinfakkan kepada jalan kebaikan, berdasarkan umumnya firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمِ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيْهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيْهِ (ألبقرة:267
“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata darinya “ (Al Baqarah: 267)

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda: “ Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak akan menerima kecuali yang baik “ (al Hadits)
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

(Dinukil dari terjemahan عفواً ممنوع التدخين Maaf, dilarang MEROKOK oleh Thalal bin Sa'ad Al 'Utaibi)


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=427
Hukum Rokok Dalam Pandangan Islam
Penulis: Al-Ustadz Helmi bin Abdul Qadir Bajri
Aqidah, 04 Desember 2009, 05:39:43
Banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak mau tahu tentang apa itu hukum dari rokok, sehingga banyak dari kita yang terjerumus ke dalamnya dan tanpa merasa malu lagi untuk menghisap rokok ini di depan umum.

Sesungguhnya apa hukum rokok itu???

Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memakan dengan makanan yang halal dari rizki yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah berikan kepada hamba-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman yang artinya:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah:168)

Dan juga Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman pada ayat yang lain.

كُـلُـوا مِـنْ طَـيِّـبَـاتِ مَـا رَزَقْـنَـكُـمْ
Artinya:
“Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu” (Al-Ayah)

Maka jelaslah 2 ayat di atas tersebut perintah dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kepada hamba-Nya untuk makan makanan yang halal juga yang baik yang tidak ada kemudharatan atau bahaya bagi badan atau menyakiti tetangga atau menyia-nyiakan harta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan kemudharatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan Rasul menghalalkan yang baik bagi mereka dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk“. (QS. Al-A’raf:157)

Diantara kemudharatan pada zaman sekarang ini yang banyak dari kaum muslimin lalai dari padanya, baik dari kalangan pemuda ataupun yang dewasa yang kebanyakan dari mereka tidak mengetahui keburukan-keburukannya adalah apa yang terdapat pada rokok.

Sehingga tidak sedikit dari meteka yang secara terang-terangan merokok di depan orang banyak tanpa mengenal rasa malu, mereka tidak menjaga kehormatan-kehormatan orang-orang yang berada di sekelilingnya, sehingga mereka menganggap ini merupakan suatu hal yang biasa. Padahal sudah jelas bahwasanya rokok merupakan sesuatu yang haram dan juga merupakan sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan bahaya bagi diri dia sendiri dan bagi orang lain. Dari Sa’id Al-Khudriy Radliallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاَضَـرَرَوَلاَضِـرَارَ
Artinya:
“Tidak boleh memberi mudharat (kepada orang lain) dan tidak boleh saling menimpakan mudharat satu sama lain” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni dll dan hadits hasan)

Keburukan-Keburukan Rokok

* Rokok dapat membunuh secara perlahan-lahan.
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa Allah - Subhanahu wa Ta’ala - melarang hamba-Nya untuk membunuh dirinya sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisaa:29)

Tidak dapat kita ingkari bahwasanya rokok dapat membunuh secara perlahan-lahan dan dapat mengakibatkan penyakit yang membinasakan seperti kanker paru-paru dan lain sebagainya, karena di dalam rokok terdapat racun (nikotin) yang dapat membunuh siapa saja yang menghisapnya.

Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ شَـربَ سَـمًّا فَـقَـتّـل نَـفْـسَـه فَـهُـوَ يَـتَّـحَـسَـاه فى نـارِ جـهَـنَّـمَ خَـالِـدًا مُـخَـلِّـدًا فِـيهـاابـدًا

Artinya:
“Barangsiapa yang menghirup racun hingga mati, maka dia akan menghirup racun itu selama-lamanya di neraka jahannam” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

* Rokok tidak dapat menghilangkan lapar dan dahaga
Allah - Subhanahu wa Ta’ala - berfirman tentang makanan-makanan penghuni neraka yang artinya:
“Mereka tidak memperoleh makanan selain dari pohon berduri. Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” (QS. Al- Ghasyiyah:6-7)

Dan rokok tidak menggemukkan dan tidak bisa menghilangkan rasa lapar seperti makanan-makanan penghuni neraka.

* Menyia-nyiakan harta

Orang yang berakal dia mengetahui bagaimana dia hidup dan bermuamalah. Rizki yang Allah telah berikan niscaya tidak akan dihambur-hamburkan pada sesuatu yang haram tidak ada gunanya, menghambur-hamburkan merupakan perbuatan syaitan dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya pemborosan-pemborosan itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar terhadap Rabbnya” (QS. Al- Isra’:27)

Rasulullah - Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam - bersabda:
إِنَّ الله كَـرَهَ لَـكُـمْ ثَـلاَثاً قـيلَ وَقَـالَ وَإِضَـاعَـة الـمَـلِ وكـَثْـرة الُّـؤال
Artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci padamu 3(tiga) perkara, dan beliau berkata: perbuatan menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya” (HR. Al-Bukhari)

Rokok adalah perbuatan pemborosan dan menyia-nyiakan harta yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala

* Rokok terdapat bau busuk yang bisa menyakiti (mengganggu) tetangganya (sekitarnya)

Kita ketahui bahwa bawang merah dan bawang putih adalah makanan yang mubah tetapi keduanya mempunyai bau yang tidak sedap. Dengan sebab bau yang tidak sedap Rasulullah - Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam - melarang orang yang makan bawang merah dan bawang putih untuk masuk masjid sampai hilang baunya.

Dari Jabir bin Abdillah Radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَـنْ أَكـّلَ تُـوْمًـا اوْ بَـصَـلاً فَـلْـيَعْـتَزِلَـنَّـا مَـسسْْــجِـدَنَـا
Artinya:
“Barangsiapa yang makan bawang putih dan bawang merah, hendaklah ia menjauhkan diri dari masjid kami” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Apabila orang yang makan bawang merah dan bawang putih dilarang oleh Rasulullah - Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam - untuk masuk masjid, maka bagaimana dengan sesuatu yang haram dengan bau yang sangat busuk dan dapat menyakiti (mengganggu) orang yang di sekitarnya???

* Merokok merupakan sebab-sebab tidak dikabulkannya do’a
Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin apa yang telah diperintahkannya kepada para Rasul. Allah telah berfirman: ‘Hai para Rasul! Makanlah olehmu makanan yang baik-baik dan beramallah kamu dengan amalan yang sholeh’ dan Allah berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu diantara rizki yang baik-baik, yang Kami berikan kepadamu’. Kemudian Beliau menceritakan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut penuh dengan debu, dia menadahkan kedua tangannya ke langit, sambil berdo’a: Ya Rabbi… Ya Rabbi.. padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan barang yang haram, maka bagaimana do’anya akan dikabul” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits ini bahwa laki-laki yang diceritakan Rasulullah - Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam - telah mendatangkan empat perkara yang semestinya do’anya dikabulkan. Yaitu:

Pertama: Safar dengan perjalanan yang jauh.

Dari Anas bin Malik - Radliallahu ‘anhu - dia berkata bahwasanya Rasulullah - Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam - bersabda:
ثَـلاَثٌ دُعَـوات لاََتُـرَدُّ :دعْـوّةٌ الـوَالِـد,دعْـوةٌ الـصَّاءِمِ,دوَةُ الـمُسَـافِـرُ

Artinya:
“Tiga do’a yang tidak tertolak: Do’anya orang tua terhadap anaknya, do’anya orang yang sedang berpuasa, dan do’anya seorang musafir (yang sedang dalam perjalanan)” (HR. Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam silsilah shahihah no. 1797)

Kedua: Pakaian dan keadaan yang mencerminkan kesederhanaan.
Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rsulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
رُبَّ أشْـعَـثَ مَـدْفُـعٍ بِـالأَبْـوابِ لَـوْْ أقْـسَـمَ على الله لأَبَـرَّهُ
Artinya:
“Banyak orang yang berambut kusut dan berdebu, bahkan bertolak dari semua pintu, tetapi apabila dia bersungguh-sungguh meinta kepada Allah, niscaya Allah akan menerimanya” (HR. Muslim)

Ketiga: Menengadahkan tangan ke langit.
Dari Salman Al-Farisi Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ رَبَّـكُـمْ تَـبَـارَكَ وَتَـعَـالى حَـيٌّي كَـرِيْم يَـسْـتَـحْـيي مِـنْ عَـبْـدِهِ إذا رَفَـعَ يَـدَيْـهِ أأَنْ يَرُدَّهُـما صِـفْـرًا
Artinya:
“Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa” (HR. Abu Dawud)

Keempat: Merengek (meminta) dengan mengulang nama Allah (wahai Rabb-ku)

Namun semua itu tidak mempengaruhi terkabulnya do’a, karena makanan yang dia makan, minuman yang dia minum semuanya merupakan dari hasil yang haram dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Bagaimana do’anya akan terkabulkan?“.

Berkata Ibnu Rajab: “Makanan haram, minuman haram, pakaian haram, dan dikenyangkan dengan barang yang haram merupakan sebab-sebab tidak dikabulkannya do’a” (Jaami’aluumi wal ahkam:92)

Ketahuilah bahwasanya seseorang itu akan dibangkitkan oleh Allah Ta’ala dari kuburnya dalam keadaan sebagaimana dia mati.

Dari Jabir Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يُـبْـعَـثُ كُـلُّ عَـبْـدٍ عَـلى مَـامَـاتَ عَـلـيْـهِ
Artinya:
“Setiap hamba itu akan dibangkitkan dari kuburnya ketika dia mati“. (HR. Muslim)

Maka bagaimana keadaan perokok apabila dia mati dalam keadaan sedang merokok dan dia dibangkitkan dalam keadaan bermaksiat kepada Allah Ta’ala??

Nasehat Untuk Para Penjual Rokok
Apabila telah jelas bahwasanya merokok itu adalah haram dengan dalil-dalil yang telah diterangkan di atas, maka sesungguhnya menjualnya juga haram, karena jika Allah mengharamkan sesuatu, maka haram juga harganya (penjualannya), karena penjualannya merupakan saling membantu dalam perbuatan dosa. Allah Ta;ala berfirman yang artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Ma’idah:2)

Ketahuilah bahwasanya harta yang halal walaupun sedikit itu lebih baik daripada harta yang banyak tetapi didapat dengan cara yang haram (spt menjual rokok). Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
“Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu“. (QS. Al-Maidah:100)

Fatwa Syaikh Bin Bazz Rahimahullah Tentang Hukum Rokok dan Hukum Penjualan-nya

Pertanyaan:
Hukum merokok apakah haram atau makruh? Dan bagaimana hukum penjualan-nya?

Jawaban:
Rokok haram, karena rokok sesuatu yang buruk yang mengandung bahaya-bahaya yang banyak sekali, dan sesungguhnya Allah Ta’ala memubahkan untuk hamba-Nya sesuatu yang baik-baik dari makanan dan minuman-minuman dan yang lainnya, dan mengharamkan kepada mereka yang buruk-buruk, Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

Artinya:
“Mereka menanyakan kepadamu apa yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: dihalalkan bagi kalian yang baik-baik“. (QS. Al-Maidah:4)

Dan Allah Ta’ala berfirman tentang sifat Nabi-Nya Muhammad - Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam - di dalam surat Al-A’raaf yang artinya:
“Yang memerintahkan mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk“. (QS. Al-A’raaf:157)

Dan rokok juga yang sejenisnya semuanya bukan dari yang baik-baik, bahkan merupakan yang buruk-buruk, dan semua yang memabukan dari yang buruk-buruk.

Dan rokok tidak boleh menghisapnya dan menjualnya juga perdagangannya, karena terdapat bahaya-bahaya yang besar dan hukuman-hukuman yang berat.

Wajib bagi perokok atau pedagangnya untuk segera bertaubat dan kembali kepada Allah Ta’ala dan menyesali perbuatannya yang lalu, dan berniat dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi, dan barang siapa yang bertaubat dengan kejujuran maka Allah akan menerima taubatnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung“. (QS. An-Nur:31)

Dan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal sholeh kemudian tetap di jalan yang benar“. (QS. Thaha:82)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Taubat dapat meruntuhkan (dosa) yang sebelumnya”

Dan bersabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti tidak mempunyai dosa“.

Kami meminta kepada Allah Ta’ala untuk memperbaiki keadaan-keadaan kaum muslimin dan menjaga mereka dari setiap yang menyelisihi syari’at-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan (do’a hamba-Nya).

(Dari Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bib Bazz - Rahimahullah Ta’ala - ).

(Sumber Buletin Manhaj Salaf edisi 2/th. V 3 Shafar 1430 H / 30 Januari 2009 M, http://manhaj-salaf.890m.com/hukum-rokok-dalam-pandangan-islam.html)


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1570
Hijab - Tolok ukur menilai kepribadian muslimah
Ahad, 11 Januari 2004 - 08:20:38 :: kategori Kewanitaan
Penulis: Kitab Al Hijab (Departemen Agama Saudi Arabia)
Keutamaan Hijab

· Hijab itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا كَانَ لمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إذاَ قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أمْرًا أنْ يَكُونَ لهُمُ الخِيَرَةُ مِنْ أمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ الأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ
“Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wanita itu aurat” maksudnya adalah bahwa ia harus menutupi tubuhnya.

· Hijab itu ‘iffah (kemuliaan)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ياَ أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أدْنَى أنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ
“Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka.

· Hijab itu kesucian
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hatipun tidak berhasrat. Pada saat seperti ini, maka hati yang tidak melihat akan lebih suci. Ketiadaan fitnah pada saat itu lebih nampak, karena hijab itu menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S. Al-Ahzab: 32)

· Hijab itu pelindung

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda:
(
إنَّ اللهَ حَيِيٌّ سَتِيرٌ يُحِبُّ الحَيَاءَ وَالسِّتْرَ)
“Sesungguhnya Allah itu Malu dan Melindungi serta Menyukai rasa malu dan perlindungan”
Sabda beliau yang lain:
((
أيَّمَا اِمْرَأَةٍ نَزَعَتْ ثِيَابَهَا في غَيْرِ بَيْتِهَا خَرَقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا سِتْرَهُ))

“Siapa saja di antara wanita yang melepaskan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla telah mengoyak perlindungan rumah itu dari padanya.”

Jadi balasannya setimpal dengan perbuatannya.

· Hijab itu taqwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ياَ بَنِي آدَمَ قَدْ أنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ
“Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (Q.S. Al-A’raaf: 26)

· Hijab itu iman

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman.” (Q.S. An-Nur: 31). Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Dan istri-istri orang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Dan ketika wanita-wanita dari Bani Tamim menemui Ummul Mu’minin, Aisyah ra dengan pakaian tipis, beliau berkata: “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”

· Hijab itu haya’ (rasa malu)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
((
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاءُ))
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.”

Sabda beliau yang lain:
“Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.”
Sabda Rasul yang lain:
((
الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ))
“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”

· Hijab itu ghirah (perasaan cemburu)

Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya. Berapa banyak peperangan terjadi pada masa Jahiliyah dan masa Islam akibat cemburu atas seorang wanita dan untuk menjaga kehormatannya. Ali bin Abi Thalib Radiyallahu 'anhu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa wanita-wanita kalian berdesak-desakan dengan laki-laki kafir orang ‘ajam (non Arab) di pasar-pasar, tidakkah kalian merasa cemburu? Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan cemburu.”

Beberapa syarat hijab yang harus terpenuhi:
1. Menutupi seluruh anggota tubuh wanita -berdasarkan pendapat yang paling rajih / terang
2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan.
3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan.
4. Longgar dan tidak sempit atau ketat.
5. Tidak memakai wangi-wangian.
6. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir.
7. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
8. Tidak bermaksud memamerkannya kepada orang-orang.

Jangan berhias terlalu berlebihan

Bila anda memperhatikan syarat-syarat tersebut di atas akan nampak bagi anda bahwa banyak di antara wanita-wanita sekarang ini yang menamakan diri sebagai wanita berjilbab, padahal pada hakekatnya mereka belum berjilbab. Mereka tidak menamakan jilbab dengan nama yang sebenarnya. Mereka menamakan Tabarruj sebagai hijab dan menamakan maksiat sebagai ketaatan.

Musuh-musuh kebangkitan Islam berusaha dengan sekuat tenaga menggelincirkan wanita itu, lalu Allah menggagalkan tipu daya mereka dan meneguhkan orang-orang Mu’min di atas ketaatan kepada Tuhannya. Mereka memanfaatkan wanita itu dengan cara-cara kotor untuk memalingkannya dari jalan Tuhan dengan memproduksi jilbab dalam berbagai bentuk dan menamakannya sebagai “jalan tengah” yang dengan itu ia akan mendapatkan ridha Tuhannya -sebagaimana pengakuan mereka- dan pada saat yang sama ia dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap menjaga kecantikannya.

Kami dengar dan kami taat

Seorang muslim yang jujur akan menerima perintah Tuhannya dan segera menerjemahkannya dalam amal nyata, karena cinta dan perhomatannya terhadap Islam, bangga dengan syariat-Nya, mendengar dan taat kepada sunnah nabi-Nya dan tidak peduli dengan keadaan orang-orang sesat yang berpaling dari kenyataan yang sebenarnya, serta lalai akan tempat kembali yang ia nantikan. Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya:
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرْيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالمُؤْمِنِينَ (47) وَإذَا دُعُوا إلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) “Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (Q.S. An-Nur: 47-48)

Firman Allah yang lain:
إنَّمَا كاَنَ قَوْلَ المُؤْمِنِينَ إذَا دُعُوا إلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ المُفْلِحُونَ (51) وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الفَائِزُونَ (52) “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S. An-Nur: 51-52)

Dari Shofiyah binti Syaibah berkata: “Ketika kami bersama Aisyah ra, beliau berkata: “Saya teringat akan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.” Aisyah berkata: “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan, dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang lebih percaya kepada kitab Allah dan lebih meyakini ayat-ayat-Nya melebihi wanita-wanita Anshor. Ketika turun kepada mereka ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.S. An-Nur: 31) Maka para suami segera mendatangi istri-istri mereka dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita dan kaum kerabatnya. Dan tidak seorangpun di antara wanita itu kecuali segera berdiri mengambil kain gorden (tirai) dan menutupi kepala dan wajahnya, karena percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Sehingga mereka (berjalan) di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalamdengan kain penutup seakan-akan di atas kepalanya terdapat burung gagak.”



(Dinukil dari kitab :
الحجاب Al Hijab. Penebit: Darul Qosim دار القاسم للنشر والتوزيع P.O. Box 6373 Riyadh 11442)
Fitnah (Bahaya) Kaum Wanita atas Kaum Lelaki
Rabu, 23 Juli 2003 - 02:33:24 :: kategori Kewanitaan
Penulis: Ustadz Abu Hamzah Yusuf (Bandung)

Semua perasaan condong padanya, perbuatan harampun terjadi karenanya. Mengundang terjadinya pembunuhan, permusuhan pun disebabkan karenanya. Sekurang-kurangnya ia sebagai insan yang disukai di dunia. Kerusakan mana yang lebih besar daripada ini ? Begitulah Al Imam Al Mubarokfuri –rahimahullah- menjelaskan tentang bentuk bahaya fitnah wanita dalam Al Tuhfah Al Ahwadzi 8/53.

Kaum muslimin rahimakumullah, jauh sebelumnya Allah menyatakan bahwa fitnah yang paling besar adalah wanita, bahkan ia sebagai sumber syahwat. Allah berfirman: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (Q.S. Ali Imran: 14).

Rasulullah memberikan peringatan dari fitnahnya sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim dari sahabat Abu Said Al Khudri, beliau bersabda: “Hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Isroil adalah wanita”

Pada riwayat lain dalam Sahih Muslim dari Sahabat Jabir Rasulullah mengisyaratkan dengan sabdanya: ”Sesungguhnya wanita menghadap dalam bentuk syaitan, dan membelakangi dalam bentuk syaitan.”

Kaum Muslimin rahimakumullah, demikianlah memang agama Allah datang untuk mengatur semua urusan manusia, membimbing para pemeluknya kepada yang membuat maslahat dan menjaga kepada apa yang akan menjerumuskannya kepada kemudharatan, sehingga kita mendapatkan Allah memperingatkan dari ajakan-ajakan syaitan. Allah berfirman: “Wahai bani Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaiman ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Q.S. Al A’raaf: 27 ).

Para wanita menyerupai syaitan karena ia sebagai penyebab timbulnya fitnah bagi laki-laki seperti pernyataan Rasulullah diatas. Oleh karena itu hendaklah para wanita bertaqwa kepada Allah denga menjaga dirinya dan menjaga kaum lelaki dari fitnah yang ditimbulkan karenanya.

Ketahuilah bahwa Islam telah datang dengan menjelaskan kedudukan para wanita. Diantara yang menunjukkan hal itu adalah :

1.Persamaan dalam hal penciptaaan dengan laki-laki. Allah berfirnan: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar Ruum: 21 ).

2.Persamaan dalam mendapatkan pahala atas amal sholih. Allah berfirman: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau permpuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain…”…” (Q.S. Ali Imron: 195). Allah juga berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan amal sholih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik …”(Q.S. An Nahl: 97).

3.Persamaan dalam hal hak mendapatkan warisan , sekalipun hak warisan laki-laki lebih darinya, ini hanyalah hikmah yang terkandung di dalamnya. Berkata Al Imam As Syinqithi dalam Adwa’ul Bayar 1/308 pada firman Allah: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu ,yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan…” (Q.S An Nisa: 11 ).

Allah tidak menjelaskan dalam ayat ini hikmah dilebihkannya laki-laki atas perempuan dalam hal warisan, padahal keduanya sama dalam hal kekerabatan. Akan tetapi Allah isyaratkan yang demikian itu di tempat lain, yaitu firmanNya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta-harta mereka… ” (Q.S. An Nisa: 34 ).

4.Hak untuk mendapatkan perlakuan dan pergaulan yang baik. Allah berfirman : “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula. Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka…” (Q.S. Al Baqoroh : 231 ). Allah juga berfirman: “…Dan bergaullah dengan mereka secara patut …” (Q.S. An Nisa: 19).

Masih Banyak keterangan-keterangan tentang kedudukan wanita yang bersangkutan dengan hak-haknya dan kewajibannya. Yang ini semua menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap kaum wanita, bahkan Allah mengkhususkan khitob untuknya dalam beberapa ayat dalam Al Quran.

Sesungguhnya ini adalah rahmat Allah untuk mereka, Allah menjaga mereka dengan syariatNya dan mensucikan mereka dari kotoran-kotoran jahiliyah.

Dengan demikian maka Allah dan RasulNya memerintahkan kepada kaum wanita untuk menjauhi perkara-perkara yang akan menyebabkan timbulnya fitnah bagi kaum laki-laki
Pertama :
Syariat memerintahkan wanita untuk tinggal dirumahnya. Allah berfirman: “Dan hendaklah kalian tetap dirumah kalian…” (Q.S. Al Ahzab: 33 ).
Sama sekali ini tidak berarti dholim terhadap wanita, atau penjara, ataupun mengurangi kebebasannya. Allah lebih mengetahui kemaslahatan hambaNya. Sesungguhnya dengan tinggalnya para wanita dirumah-rumahnya maka ia dapat mengurusi urusan rumahnya, menunaikan hak-hak suaminya, mendidik anaknya dan memperbanyak melakukan hala-hal baik lainnya.
Adapun keluar rumah maka hukum asalnya adalah mubah, kecuali jika dalam bermaksiat kepada Allahmaka hukumnya haram.

Kedua
Syariat melarang mereka bertabaruj, yaitu berhias dihadapan selain mahramnya. Allah berfirman: “…dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu…” (QS Al Ahzab: 33 ).

Ketiga
Mereka dilarang berbicara dengan suara yang mendayu-dayu yang dapat mengundang fitnah. Allah berfirman : “…Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di hatinya , dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al Ahzab: 32 ).

Keempat
Mereka dilarang keluar rumah dengan memakai wangi-wangian. Rasulullah bersabda: “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian kemudian lewat di suatu kaum supaya mereka mendapatkan bau harumnya, maka ia telah berzina.” (HR Ahmad dari Sahabat Abu Musa Al Asy’ari). Bahkan dalam riwayat Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Rasulullah bersabda: “Wanita mana saja yang memakai bukhur (sejenis wangi-wangian) tidak diperkenankan untuk sholat Isya di malam hari bersama kami.” Tidak diragukan lagi bahwa sholat berjamaah memiliki keutamaan 27 derajat atas sholat sendirian.
Walau demikian Rasulullah melarang para wanita untuk sholat Isya jika memakai wangi-wangian, menjaga supaya tidak terjadi fitnah.

Kelima:
Mereka dilarang untuk berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya. Rasulullah bersabda : “Tidak boleh seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri, berduaan) dengan seorang wanita kecuali dengan mahramnya.” (HR Muttafaq alaihi dari Sahabat Ibnu Abbas).

Maka wajib atas kaum wanita menjaga kehormatannya, dan janganlah membalas nikmat Allah dengan kekufuran, wal iyyaudzubillah. Seyogyanya bagi seorang muslim atau muslimah untuk tidak memiliki pendapat atau kebebasan setelah tetap hukum Allah dan RasulNya. Karena sesungguhnya Islam tidak akan tegak pada diri seseorang kecuali dengan tunduk dan patuh. Allah berfirman : “Dan tidak patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah da RasulNya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al Ahzab: 36).
Wal ilmu indallah.

FATWA SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL ‘UTSAIMIN TENTANG PAKAIAN KETAT BAGI WANITA

Beliau berkata :” Terdapat dalam shahih muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda: “ Ada dua golongan dari ahli neraka yahng aku belum pernah melihatnya: pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor-ekor sapi yang dipakai untuk memukul manusia; kedua, wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang lenggak lenggok di kepalanya ada sanggul seperti punduk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya dan sesungguhnya bau surga itu akan didapatkan dari jarak ini dan itu.”

Maka ucapan Rasulullah, telanjang adalah bahwa mereka memakai pakaian tetapi tidak menutupi yang semestinya tertutup, baik iotu karena pendeknya atau tipisnya atau akrena ketatnya, di antaranya adalah yang terbuka bagian dadanya, karena yang demikian itu menyelisihi perintah Allah, dimana Allah berfirman : “ Dan hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” ( QS An Nur: 31 )

Berkata Al Qurthubi dalam tafsirnya : “Prakteknya adalah hendaknya wanita memakai kain kerudung uantuk menutup daadanya.”

Di antaranya lagi adalah yang terbelah bagian bawahnya, jika tidak terdapat penutup lagi di dalamnya, jika ada penutupnya tidak mengapa hanya saja jangan sampai menyerupai yang dipakaikan oleh kaum pria.

Kepada para walinya kaum wanita hendaknya melarang mereka dari memakai pakaian yang haram dan keluar rumah dengan bertabarrruj (bersolek/berdandan) dan memakai wangi-wangian karena para walinya adalah orang yang bertanggung jawab atasnya pada hari kiamat, pada hari di mana seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, dan begitu pula tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya dan tidaklah mereka akan ditolong.
Semoga Allah memberi taufiq bagi semuanya kepada yang dicintai dan diridhainya.

“Konsep pembela yang universal antara haq dan bathil , hidayah dan kesesatan, petunjuk dan penjerumus, jalan kebahagiaan dan kehancuran adalah menbjadikan apa-apa yang Allah telah utus dengannya para rasul dan diturunkan dengannya Al Kitab sebagai kebenaranyang wajib untuk diikuti, karena dengannya akan mendapatkan Furqon dan hidayah Ilmu dan Iman.

Adapun yang lainnya dari perkataan manusia diukur diatasnya, apabila sesuai dengannya adalah benar, jika menyelisihinya adalah bathil. Apabila belum diketahui apakah sesuai atau tidak dikarenakan perkataan-perkatan yang global tidak dimengerti maksud pembicaraan atau dimengerti maksudnya tapi tidak tahu apakah Rasul membenarkannya atau tidak maka diam, tidak berkomentar melainkan dengan Ilmu. Sedangkan Ilmu adalah apa-apa yang berdiri diatasnya dalil dan yang bermanfaat adalah apa yagn dibawa oleh Rasulullah” (Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Wallahu a'lam.
Sumber: Salafy.or.id

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Hukum Mendengarkan Musik dan Merokok dalam Islam"

Posting Komentar